LABH Bulan Bintang Pertanyakan Profesionalisme KPK

LABH Bulan Bintang Pertanyakan Profesionalisme KPK

Share:

JAKARTA – Ketua Umum Lembaga Advokasi Bantuan Hukum (LABH) Bulan Bintang Irfan Maulana Muharam mempertanyakan profesionalisme KPK yang teledor mempergunakan kewenangan OTT terhadap personel TNI aktif yang berujung permintaan maaf dan pengakuan khilaf.

 

Menurut Irfan, penyelesaian polemik penanganan perkara atas dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tetaplah harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.

 

Irfan menambahkan, KPK tidak bisa semudah itu menyatakan permintaan maaf kepada Puspom TNI terkait adanya kekhilafan dalam penanganan perkara dan penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto yang notabene masih anggota militer aktif. Sebab dalam melakukan penetapan tersangka tersebut tentunya tindakan KPK diawali oleh mekanisme hukum yang berlaku yakni melalui serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan sehingga melalui tindakan penyelidikan itulah KPK bisa melakukan OTT terhadap para calon tersangka dan kemudian apabila sudah dilakukan OTT maka seharusnya penetapan tersangka disertai dengan sprint sidik.

“Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan tersangka tidak disertai dengan sprint sidik itu malah jelas menyalahi prosedur,” kata Irfan di Jakarta, Selasa (1/8/2023).

 

Sebagaimana diketahui proses penyelidikan dan penyidikan yang telah dilakukan oleh KPK, apabila hendak dihentikan atau diambil alih penanganannya oleh Puspom TNI maka sprint lidik dan sprint sidik yang telah diterbitkan oleh KPK haruslah dihentikan terlebih dahulu dengan mekanisme hukum pula dan tentunya tidak bisa hanya dengan permintaan maaf dan mengakui kekhilafan  langsung dianggap selesai karena penyelidikan dan penyidikan adalah suatu proses hukum.

 

Irfan menegaskan, selama ini KPK selalu bertindak cepat dalam menangani kasus yang didapat dari hasil OTT, tidak ada dalam sejarahnya KPK setelah selesai OTT dan menetapkan tersangka lalu tiba-tiba pimpinan KPK menyatakan minta maaf dan mengakui adanya kekhilafan dari tim penyelidik atas penanganan perkara tersebut.

“Kalau itu yang terjadi maka ini menjadi sejarah baru dalam instansi penegakan hukum kita yang menunjukan ketidakprofesionalan KPK dalam menjalankan fungsi penegakan hukum dan yang pasti menurunkan marwah KPK sebagai Lembaga anti rasuah”, tegasnya.

 

Lantas ketika ditanya bagaimana mekanisme hukum untuk mengakhiri polemik dan perdebatan siapa yang berwenang menangani perkara tersebut, Irfan berpendapat semestinya biarkan saja proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Proses hukum penyelidikan dan penyidikan itu diteruskan saja. Dalam hal ini pihak Puspom TNI seyogianya menghormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK, begitupun KPK harusnya tetap melanjutkan proses penyidikan atas perkara tersebut.

Adapun dari pihak Puspom TNI/ Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto merasa keberatan atas penetapan tersangka dan penanganan perkara oleh KPK, dengan mendasari UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dapat saja mengajukan keberatan melalui mekanisme Praperadilan.

 

“Begitupun kalau KPK betul mengakui kekeliruannya dan telah meminta maaf, maka itupun tidak cukup, KPK tetap harus mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) karena hanya itu satu-satunya prosedur menghentikan perkara”, jelasnya.

“Lantas kalaupun ada pihak yang tidak setuju dengan penghentian oleh KPK juga punya hak yang sama untuk mengajukan praperadilan atas SP3 oleh KPK tersebut dan meminta perkara dibuka kembali, putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012 sudah memungkinkan hal itu di mana pihak ketiga yakni korban atau pelapor, LSM dan ormas, dapat maju sebagai pemohon praperadilan atas SP3 tersebut” tambahnya.

 

Irfan menjelaskan, dengan dilanjutkannya ataupun dihentikannya proses hukum sesuai prosedur hukum, maka nantinya hakim praperadilanlah yang akan memutuskan apakah KPK berwenang atau tidak menangani perkara tersebut.

 

Irfan menegaskan kembali bahwa KPK jelas menyalahi prosedur karena tidak berwenang menyidik TNI aktif secara sepihak tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan pihak Puspom TNI, namun sikap KPK menghentikan perkara dengan hanya meminta maaf dan tidak mengeluarkan SP3 juga menyalahi prosedur.

“Akibatnya perkara menggantung, Pihak Ketiga yang ingin mempersoalkan penghentian ini juga terhalang karena ketiadaan produk hukum penghentian yang jelas, kami mendesak KPK harus professional dalam menggunakan kewenangan penyidikan karena ini menyangkut hak asasi seseorang kalau wewenang penyidikan dipergunakan tidak professional” tegasnya.