JAKARTA – Presiden Jokowi pada Sabtu, 5 Maret 2022 memberikan tanggapan atas wacana penundaan pemilu yang berimplikasi pada habisnya masa jabatan penyelenggara negara mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Presiden menegaskan bahwa semua orang wajib taat dan patuh pada konstitusi, UUD 45. Usul ketua umum tiga parpol untuk menunda pemilu, boleh saja dikemukakan di dalam negara demokrasi, sebagai bagian dari kebebasan mengemukakan pikoran dan pendapat.
Namun, sesuai pandangan Presiden agar semua taat dan patuh pada konstitusi, maka usul Cak Imin (ketum PKB), Zulkifli Hasan (ketum PAN), dan Airlangga (ketum Golkar) itu adalah usul yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Jika dilaksanakan, maka penundaan pemilu itu menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang memerintahkan agar pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
Menurut, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, konsekuensi dari penundaan itu, jabatan-jabatan kenegaraan yang harus diisi dengan pemilu juga berakhir. Maka terjadilah kevakuman kekuasaan, karena begitu jabatan berakhir setelah lima tahun, para pejabat tersebut, mulai dari Presiden sampai anggota DPRD telah menjadi mantan pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama jabatannya.
“Kalau para mantan pejabat itu memaksa bertindak sebagai seolah-olah pejabat yang sah, maka rakyat berhak untuk membangkang kepada mereka. Jika keadaan seperti itu terjadi, maka akan terjadilah anarki, semua orang merasa dapat berbuat apa saja yang diinginkannya. Negara akan berantakan karenanya. Tertib hukum lenyap samasekali,” tegasnya.
Kalau Presiden mengatakan harus taat dan patuh pada konstitusi, maka rakyat tidak punya pilihan kecuali melaksanakan pemilu sesuai jadwal. Pemilu bisa saja diselenggarakan secara lebih sederhana, misalnya menggunakan digital election memanfaatkan teknologi informasi yang ada sekarang. Bisa saja orang nyoblos pileg dan pilpres dengan menggunakan HP. Kampanye sederhana, menghitungnya cepat, kecurangan dapat diminimalkan.
“Kalau mau menunda pemilu harus ada landasan konstitusionalnya. Cara paling mungkin untuk itu hanya melakukan amandemen UUD 45. Tanpa amandemen, maka penundaan pemilu adalah pelanggaran nyata terhadap UUD 45. Risiko pelanggaran terhadap UUD 45 adalah masalah serius,” jelas Yusril.
Presiden pun jika melanggar UUD 1945 bisa dimakzulkan oleh MPR. Tentu setelah melalui proses pemakzulan sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Sekarang, pihak mana yang mau melakukan amandemen terhadap UUD 1945?
“Kita hendaknya tidak bermain-main dengan sesuatu, kalau hal itu kita sadari sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945,” jelasnya.