Pengakuan Kemerdekaan RI Oleh Pemerintah Belanda, Yusril: Raja Belanda Seharusnya Mengajukan Permohonan Maaf

Pengakuan Kemerdekaan RI Oleh Pemerintah Belanda, Yusril: Raja Belanda Seharusnya Mengajukan Permohonan Maaf

Share:

ISTANBUL – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, pernyataan Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte di Parlemen Belanda bahwa negara itu mengakui kemerdekaan RI tanpa syarat tanggal 17 Agustus 1945 masih menyisakan banyak pertanyaan.

Oleh karena itu orang Indonesia jangan gembira dulu. Kementerian Luar Negeri RI juga harus ekstra hati-hati dalam menyikapi perkembangan baru di Belanda ini dan seyogianya memberikan masukan yang benar kepada Presiden Joko Widodo.

“Pengakuan yang dikemukakan oleh PM Belanda itu memang harus diperjelas, apakah sekedar mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, atau juga berarti mengakui kemerdekaan dan sekaligus kedaulatan negara RI sejak 17 Agustus 1945” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya di Istanbul, Turki, Jumat (16/6/2023).

Fakta sejarah yang tidak dapat disangkal ialah, Belanda baru “menyerahkan kedaulatan” kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Pihak Indonesia juga mengakui hal itu karena penyerahan kedaulatan itupun bukanlah kehendak Belanda semata, tetapi juga keinginan Indonesia yang dicapai melalui kesepakatan yang dituangkan dalam Roem-Roijen Statement tanggal 7 Mei 1949.

Yusril menjelaskan, dalam pernyataan itu Menlu Belanda Jan Herman van Roijen dan Ketua Delegasi Perunding Indonesia Mohamad Roem menyepakati kedua pihak (Indonesa dan Belanda) segera mengakhiri konflik; (2) Kedua pihak bersama-sama akan membentuk RIS di Nederland; (3) Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada RIS. Dengan diserahkannya kedaulatan kepada RIS, maka Indonesia akan diterima sebagai anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan demikian, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional.

Dari isi Roem-Roijen tersebut, dengan jelas tergambar bahwa penyerahan kedaulatan disepakati kedua pihak (Indonesia dan Belanda) akan dilakukan melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Wassenar, Belanda pada 27 Desember 1949.

“Jadi, kalau pernyataan PM Mark Rutte dikaitkan dengan KMB, maka itu hanya berarti bahwa Belanda mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, tetapi belum mengakui RI sebagai negara berdaulat. Karena kedaulatan baru “diserahkan” Belanda pada 27 Desember 1949. Dari sudut pandang Belanda, antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, Indonesia memang sudah merdeka. Tetapi belum berdaulat. Kedaulatan ada di tangan siapa? Masih di tangan Belanda karena belum diserahkan. Mengakui kemerdekaan dengan mengakui kedaulatan, dalam perspektif Belanda adalah dua hal yang berbeda,” jelas Yusril.

Kalau kedaulatan Belanda atas wilayah Hindia Belanda masih ada sampai 27 Desember 1949, maka Belanda bisa cuci tangan dari jatuhnya korban akibat penyerangan dan pembantaian massal (seperti dilakukan Westeriing). Maka benarlah dalih Belanda selama ini, bahwa mereka tidak pernah melakukan  dua kali Agresi Militer ke wilayah Indonesia tetapi hanya melakukan “Aksi Polisionil” di wilayah Hindia Belanda sendiri yang kedaulalatannya masih ada di tangan mereka.

Kalau pemerintah Belanda memang benar-benar mengakui Republik Indonesia yg merdeka dan berdaulat sejak 17 Agustus 1945, konsekuensinya memang cukup serius bagi Belanda sendiri. Itu berarti apapun penyerangan, pembunuhan dan bahkan pembunuhan massal yang dilakukan Belanda di Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 adalah keajahatan perang (war crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity). Untuk itu Belanda harus bertanggungjawab dan dapat dituntut di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) sebagai penjahat perang dan sekaligus pelaku kejahatan HAM yang berat.

Tetapi, kata Yusril, kalau hanya mengakui kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 tetapi tidak mengakui kedaulatan sampai 27 Desember 1949, maka pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikemukakan Mark Rutte itu tidak lebih daripada basa-basi yang tidak banyak gunanya bagi bangsa Indonesia. Belanda bahkan akan menjadi bahan tertawaan dunia internasional karena mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Jadi pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dikemukakan PM Mark Rutte itu hanyalah untuk kepentingan Belanda sendiri. Tidak jelas apa manfaatnya bagi bangsa Indonesia.

Pemerintah Indonesia, demi menjaga hubungan baik dengan Belanda, selama ini memang tidak mau mempersoalkan kejahatan Belanda di masa penjajahan, maupun dalam kurun waktu antara tahun 1945-1949. Tetapi rakyat yang menjadi korban pembunuhan dan pembantaian (termasuk ahli warisnya) dapat saja mengajukan gugatan di pengadilan atas perbuatan tentara Belanda tersebut. Sebagian, untuk kasus di Jawa Barat dan Sulawesi bahkan telah dikabulkan oleh pengadilan di negeri Belanda sendiri.

“Bagi bangsa kita, pada hemat saya, pengakuan atas kemerdekaan RI sejak 17 Agustus 1945, haruslah pula sekaligus mengakui kedaulatan Negara RI sejak tanggal tersebut. Kalau ini yang dilakukan Belanda, baru pengakuan PM Mark Rutte itu ada artinya bagi bangsa Indonesia. Raja Belanda yang sekarang sudah seharusnya mengajukan permohonan maaf dan penyelesalan atas apa yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka,” tegas Yusril.

“Lebih daripada itu, bangsa Belanda juga harus menyadari, menginsyafi dan menyesali kesahalan masa lalu mereka. Jangan seperti sekarang, selalu merasa “besar kepala” seolah-olah mereka adalah pembela HAM dan selalu menyalahkan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia yang sempat mereka jajah dalam kurun waktu yang sangat lama,” tambahnya.