Pakar Hukum Tata Negara UMI Menilai Pemerintah dan DPR Hadapi Problem Serius dalam Perbaikan UU Cipta Kerja

Pakar Hukum Tata Negara UMI Menilai Pemerintah dan DPR Hadapi Problem Serius dalam Perbaikan UU Cipta Kerja

Share:

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI), Fahri Bachmid menilai DPR dan pemerintah akan sulit serta menghadapi problem serius untuk menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun.

Hal itu seperti yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) jika belum mengadopsi metode omnibus law ini dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Sebab, jika tetap dibahas dan menindaklanjuti putusan MK ini tanpa mempositifkan metode omnibus law tersebut, akan berpotensi menjadi tidak konstitusional lagi dan pada ahirnya dapat dipersoalkan konstitusionalitas pembentukannya ke MK kedepan,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Fahri, untuk menjawab kebutuhan serta kemendesakan konstitusional penyempurnaan dan perbaikan UU Cipta Kerja ini, selain opsi-opsi perbaikan tertentu lainya, idelanya juga pemerintah segera menindaklanjuti amanat UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketentuan Pasal 99A.

Pasal ini, kata dia, terkait pembentukan Kementerian atau Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Sehingga dapat membantu menyelesaikan problem regulasi nasional untuk jangka panjang, sekaligus menjadi pusat perumusan dan pengendalian regulasi pemerintahan, karena tentunya secara kelembagaan lebih kredible dan profesional untuk mengelola aspek-aspek teknis perundang-undangan nasional,” katanya.

Lebih detail, ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang ini menguraikan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja. Amar putusan MK ini antara lain adalah menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Putusan MK ini juga memerintahkan kepada DPR dan Pemerintah untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan itu dibacakan oleh hakim MK.

“Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” jelas Fahri.

Fahri menyampaikan bahwa secara teoritik maupun konstitusional jika merujuk pada desain dan pengaturan dalam UUD 1945, tentang pembentukan UU (law making process) yaitu merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, seperti pengajuan RUU, pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945, persetujuan bersama antara DPR dan presiden, pengesahan RUU menjadi UU dan  pengundangan.

Namun, kata Fahri, berdasarkan putusan MK tersebut, ternyata proses pembahasan UU Cipta Kerja bermasalah, karena dari 5 tahapan proses itu, 4 (empat) tahapan proses terkonfirmasi cacat prosedur. Dalam verifikasi tersebut, Mahkamah mengunakan parameter syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:

Pertama, pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU.

Kedua, pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang. Ketiga, pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU.

Keempat, pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, dan semua tahapan dan standar yang di operasikan oleh mahkamah, digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan UU yang dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan mahkamah menilai tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif.

Dalam hal ini, jika minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikualifisir cacat formil dalam pembentukannya, dan UU Cipta Kerja ini termasuk dalam kategori cacat formil tersebut.

“Sebab, pertanyaan hipotetis pemohon adalah apakah pembentukan UU 11/2020 dengan metode Omnibus Law telah menimbulkan ketidakjelasan rumusan, yaitu apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?,” jelas Fahri.

Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa terlepas dari definisi Omnibus Law tersebut, Fahri menyampaikan, penting bagi mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apapun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU.

Bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut.

“Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” terangnya.

Dan mahkamah, menurut Fahri, menegaskan bahwa oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan UU; maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

Kata Fahri, dengan demikian MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang mempunyai sifat kekhususan berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk.

Sehingga MK secara imperatif mewajibkan agar UU Cipta Kerja segera dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta dapat mengakomodir asas-asas pembentukan UU, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan dengan menyertakan partisipasi publik secara maksimal dan lebih substansial, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi sesuai norma konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD NRI tahun 1945.